Saturday, June 18, 2011

Walau habis terang,,,

Ku tak biasa tersenyum senang

Walau hati ku menangis

Biarkan semua tersenyum dengan pasti,,,


~Ariel~
Meja kayu berlukis guratan daun mengayun sendu menuju kaki-kakinya. Bercorakkan awan cumullus, menepi hingga kuncup daun yang tadi ia lukiskan.

Di sebuah ruang yang bisa ia anggap sebagai ruang kerjanya itu, Wuyung, Yah orang-orang disekitarnya memanggilnya dengan sebutan "Wuyung". Dari istilahnya saja terbilang sangat merana. Wuyung dalam artian orang yang kasihan tak nampak terlukis dalah kesehariannya. Setiap hari ia habiskan untuk melukis meja-meja yang hendak ia jual. Awan, dedaunan serta gunung, tak henti-hentia ia jadikan sebagai sumber inspirasi ukirannya. Entah, berapa harga yang nantinya ia akan jual mungkin tidak sepadan dengan apa yang diharapkan. Namun setidaknya, lelaki yang sudah tak terlihat tua itu tak menggraukan apa mantinya. Yang ia pikirkan hanya bagaimana ia harus tetap hidup sebagaimama orang-orang yang hanya bisa mengasihaninya. Belum genap ia merampungkan guratan akar di kaki terakhir. Terdengar seseorang mengetuk pintu. Segera Ia mendongak, lelaki botak berpakaian rapi berdiri di kesilauan matahari.



"Silahkan masuk,,,!!", suara ceking Pak Wuyung mempersilahkan tamu itu masuk.

"Betul ini rumah Pak Wuyung,,?!", tanya lelaki yang baru saja masuk itu seraya melihat seisi ruangan penuh dengan cercaan kayu itu.

"Wah, meja yang bagus. Sudah ada yang memesannya belum, Pak,,?!", lanjut lelaki botak itu.

"Maaf, Pak. Yang ini tidak dijual. Kalau yang lainnya silahkan pilih saja", tegas Pak Wuyung mengisaratkan penolakan lelaki itu untuk menawar meja yang masih diukirnya itu.

"Tapi ini bagus sekali, Pak. Seolah-olah meja ini sedang mengajak Saya untuk bercerita. Mengenang seseorang kah, Bapak ini,,?", terang lelaki itu semakin penasaran.

"Ah, itu hanya perasaan Anda saja...", sahut Pak Wuyung menghibur lelaki yang daritadi mengamati Ia mengukir.

"Oke, baiklah kalau begitu saya ambil yang itu saja. Sepertinya juga ngga kalah bagusnya kok" lanjut lelaki itu menunjuk ke meja yang tepat di sampingnya.

"Mo, Atmo,,, tolong layani Bapak ini dulu yha. Sudah yang itu dilanjutkan nanti lagi.", Pak Wuyung memanggil karyawannya yang tengah menggergaji kayu-kayu.

Selang berapa lama lelaki botak itu pergi dengan sebuah nota.

"Nanti kami antar sampai ke alamat, Pak", tegas Atmo ke lelaki yang beranjak pergi menaiki mobilnya.

"Mo, tolong ambilkan kursi Bapak!!", suruh lekaki tua itu ke anak muda itu.


Tak biasanya angin begitu kencangnya masuk ke ruang yang penuh dengan akar-akar jati itu. Hingga selimut yang ia kenakan diperutnya tersingkap. Kaki pak Atmo yang hanya sebatas paha itupun terlihat. Segera Atmo mengambilnya dan ia ikatkan di perut lelaki itu. Dengan kursi roda yang tampak sudah tak bagus itu, Pak Wuyung mengayuhnya pergi. Nampak baru tersadar darah menetes di lantai tanah itu. Atmo hanya terpaku. Sesekali ia melihat ke meja yang baru saja Pak Wuyung kerjakan. Liukan ukiran daun mengelilingi tepinya. Gunung, serta awan yang tak terukir hujan didalamnya. Seperti hendak menangis, ataukah dedaunan itu yang diharapkan Pak Wuyung untuk ditaburkannya ke makam istrinya,, yah sudahlah. Tak lama kemudian Atmo pun pergi menyusul Pak Wuyung di belakang.





Berjalanlah walau habis terang

Ambil cahaya cinta dan terangi jalanmu,.



Penulis pun melanjutkan lirik yang belum sempat terselesaikan,,,



03.10pm

No comments :

Post a Comment