Hujan tak henti-hentinya turun. Sore itu di sebuah rumah kecil berteraskan tanah, termenung sesosok wanita yang tengah memandangi riakan air yang berjatuhan di tanah. Tak terlihat senyum di bibir wanita itu. Mmmmm... cantik aku bilang. Tapi tak tersirat sedikit pun tuk ku berusaha menyentuh hatinya. (Ya iyalah... tuaan dia kaliii).
Mba Danti... Iya, Mbah Sari yang tinggal di rumah itu biasa memangilnya dengan nama itu. Tak terpikir olehku untuk terlalu jauh menanyakan siapa, apa, dan darimana dia. Yang jelas, Mba Danti kali ini sedang membutuhkan suasana yang tenang untuk bisa melupakan kenangan-kenangan pahit yang mungkin ia lalui dulu. Sesekali ia berusaha menutupi segala kegalauan yang ia alami kepada siapa saja yang lewat. Namun, tak elak kalau ia selalu merenung dan terus merenung, pastilah ada sesuatu yang ia rasakan begitu berat sehingga ia mau tinggal di sebuah gubug kecil, jauh dari bayanganku ada seorang mahasiswi kota, pakaian bermerek, apalagi membawa mobil, mau-maunya tinggal di tempat seperti itu.
“Pagi, mba...” suaraku mengagetkannya. Hujan semakin besar, aku hanya sekedar menumpang berteduh karena hujan yang tiba-tiba deras hingga dan aku lupa membawa payung.
“oh..oh... pagi??” sahut Mba Danti keheranan. Setidaknya awalan yang santai dan menggelitik bisa membuat hati mba Danti tak kalut lagi.
“hehe... lagian Mba sore gini kok masih di luar?? Tar di culik Kalong lho...!!” Ujarku memecah konsentrasi Mba Danti yang masih keheranan dengan keberanianku menghampirinya.
“apa tuh Kalong???” tanya Mba Danti penasaran. “Kalong tuh adanya cuma di desa, mba. Di kota mana ada. Itu lho, kelelawar gede yang suka nyulik cewe kalo sore-sore kayak gini masih di luar, belum masuk rumah.” jawabku berusaha mengajaknya tertawa.
Aneh aku rasakan, Mba Danti tidak kelihatan judes atau cuek. Namun celotehan humorku tidak membuatnya tertawa bahkan tersenyum. Yah, tak terasa hari semakin sore, namun hujan tak henti-hentinya turun. Akupun pamit meninggalkan Mba Danti sendirian. Sebentar lagi maghrib, aku harus segera sampai ke masjid untuk bisa mengikuti sholat berjamaah. Eitz..Jangan heran kalau aku sekarang lebih sering ke masjid, yah karena tuntutan program KKN yang diatur oleh UU perKKNan di kelompokku. Jadi di peraturan itu setiap mahasiswa diwajibkan untuk sholat di masjid yang setelahnya diisi ceramah-ceramah sekitar dunia pendidikan dan dunia pekerjaan. Sebentar.... kayaknya penulis juga mengiyakan nih kalo itu juga sering dilakukan walaupun di luar KKN...hehehe
Lanjut cerita... akupun menjembreng (red, bahasa cilacap) kain sarungku yang aku ikatkan di pinggangku, aku pakai untuk menutupi kepalaku dari rintiknya hujan. Sesaat aku melangkahkan kakiku terdengar suara memanggil.
“Nang... Mau ngga Mas Nanang nungguin aku ambil mukena??? Aku mau ikut”. Suara lirih merayu yang yang tak lain itu adalah suara Mba Danti. Aku heran kenapa ia sampai tahu namaku. Mmmm.... mungkin memang dia pernah bertanya pada Mbah Sari tentang aku. Secara aku yang sering ngisi pengajian di masjid yang diikuti ibu-ibu PKK, kebetulan memang Mbah Sari masih aktif dalam organisasi itu.
“Oh, he-eh...”, sahutku menganggukkan kepala sambil menoleh ke wajah layu Mba Danti. Mba Danti pun masuk mengambil mukena dan payung miliknya dan segera menghampiriku tuk menuju ke masjid yang tak jauh dari rumah itu.
Hujan, Petir, suara geluduk seraya menghanyutkanku kedalam suasana sore itu.
Hari-hari berlalu, tak terasa waktu perpisahan KKN sebentar lagi. Aku pun berinisiatif untuk mengajak Mba Danti mengisi acara perpisahan nanti dengan nyanyi bareng teman-teman sekelompok KKN di desa Srati Kecamatan Gombong Jawa Tengah, desa yang aku tempati selama sebulan ini. Mba Danti kan pernah kuliah, dan sekarang sudah lagi jadi dokter, mungkin ada ide-ide yang bisa ditambahkan dalam acara perpisahan nanti. Seperti biasanya aku menunggu datangnya sore untuk bisa mengajak Mba Danti ke masjid. Hari masih siang, namun Aku tak sabar bergegas menuju rumah Mbah Sari yang selama ini ditinggali Mba Danti.
“Mba Danti ada, Mbah??”, tanyaku kepada sesosok nenek tua yang tak lain adalah Mbah Sari, pemilik rumah itu. Sepertinya ada yang aneh, tak kulihat seperti biasanya mobil sedan merah ber-plat F ada di samping rumah Mbah Sari.
“Oh, Mba Danti tadi pamit, Cah Bagus”. Jawab mbah seolah mengiyakan keanehan perasaanku tadi. “Tapi bentar ya, Den. Ada titipan buat Aden”, lanjut Mbah yang mengherankanku. Tadi mangggil aku Cah Bagus, sekarang malah Aden. Hahaha.... lucu aja, jadi ingat seorang teman yang di panggil Aden karena berasal dari Baturaden. Aden, singkatan dari Anak Baturaden, ga pernah makan sarden, bisanya Cuma nyinden. Hehehe.... piss
Tak lama kemudian, “Upz...” aku terdiam heran, melihat sebuah bingkisan dan sepucuk surat bertuliskan “To : Nanang Jelek”. Ugh, tak habis pikir kenapa ini terjadi begitu cepat. Selama ini aku dekat dengan Mba Danti karena aku selalu melihat Mba Danti yang selalu termenung di sore hari ketika ku menuju ke masjid. Aku heran melihat wanita yang seharusnya bekerja menjadi Dokter dan tinggal di kota, malah memilih untuk tinggal di sebuah rumah kecil di desa yang sepi ini.
“Dulu Mba Danti juga KKN di sini den, tinggalnya ya di rumah mbah ini” tukas mbah mengagetkanku ketika ku berusaha membuka isi surat itu.
“Katanya kalo Aden masih pengen ketemu sama Mba Danti, datang aja ke rumahnya di Bogor...”, lanjut mbah sembari mempersilahkanku untuk duduk di kursi yang biasa Mba Danti duduki.
Pertama aku sedih...lalu bimbang...lalu ragu...
Sekiranya kamu tahu apa isi hatiku
Tak kuasa ku menahan tangis di setiap tawaku
Tak ada yang menarik di dirimu
Namun hati ini tak henti-hentinya mengisyaratkan tuk mengatakan “Iya”
iya, aku telah menemukan hidup dalam diriku
Adalah kamu yang menuntunku menemukan jalan itu
karena kepolosan dan kelembutanmu
Dan aku sadar, kebahagiaanku selama ini adalah semu
Dan kini aku menemukan cinta sejati ada dalam dirimu
Kau lah Matahariku, sekaligus Lautanku
Kini... aku mengharapkan kehadiranmu
Ada di sisiku...
DanTie_Cute
Nb : tolong simpan mukenaku. Aku harap itu sebagai persembahanmu kelak...
Ada beberapa ganjalan yang selama ini aku urungkan tuk bertanya langsung ke Mba Danti. Kini ku selayaknya bertanya ke Mbah, apa yang sebenarnya terjadi padanya.
“Selama ini Mba Danti selama ini tu ngapain, Mbah...??? Tanyaku tak sabar menunggu jawaban dari Mbah Sari.
“Begini, Den. Mba Danti itu lagi sedih, dia baru saja ditinggal nikah sama suaminya. Suami yang ia kenal sejak mereka KKN di sini, Den. Mereka nikah baru 5 tahun tapi belum dikaruniai anak”. Tegas Mbah Sari seolah mengharapkanku tuk mengikuti alunan bicaranya mengharapkan Aku tuk mau menerima Mba Danti.
“Cuma gitu aja, Mbah??? Tanyaku heran.
“Namanya Rifqi, dia sekarang menjadi Pengacara di Jakarta. Singkat cerita ketika Dia menangani sebuah kasus investor asing yang berusaha mengambil semua aset-aset perusahaan kliennya yang mengalami pailit” terang Mbah memaksaku tuk terus mendengarkannya...
Suara azan pun mulai berkumandang. Menunjukan hari menjelang sore. Namun aku masih belum mau beranjak meninggalkan cerita yang belum terlihat ujung pucuknya ini.
“Mas Rifqi tergiur dengan tawaran klien, yang ketika itu memang kasus dimenangkan oleh pihak Mas Rifqi. Disitulah kesombongan suami Mba Danti mulai terlihat. Terlebih lagi klien memiliki putri cantik yang baru saja pulang dari Jerman untuk menyelesaikan gelar S1 Ekonomi di sana. Namanya juga lelaki, ga ada yang ga ngiler dapet perusahaan terus ditawarin anak bosnya lagi”. Sejenak Mbah menitikkan air matanya, tak tahan lagi tuk melanjutkan ceritanya...
Akupun bisa menyimpulkan, bahwa semua lelaki itu brengsek.... makanya aku ga suka lelaki (hehehe, menepiskan segala cerita miringku di catatan2 yang lain)...
“Yah, emang laki-laki yang namanya Rifqi itu Brengsek” gumamku dalam hati.
Mmm... kali ini bingung melandaku. Tak terlintas di benakku tuk memiliki pacar atau selebihnya, seorang kaya dari kota. Kini pun aku telah memiliki tambatan hati, gadis berkerudung dari Tasik yang aku kenal 2 tahun lamanya yang telah memikatku. Aku berfikir, belum saatnya aku memikirkan hal itu. Aku baru 22 tahun dan Mba Danti 32 tahun. Jalanku masih panjang, pastilah suatu saat ada Nanang-Nanang yang lain bisa membahagiakan Mba Danti. Selamat berjuang menemukan cinta sejati Mba... kali ini aku belum pantas menerima hal itu. Yang padahal sejatinya lelaki itu mau menerima calon istrinya apa adanya, walau seorang janda pun, asal seiman dan baik hati. Itu sih kata abahku...
“Berhentilah selalu mencari pasangan yang tepat, tapi jadikanlah orang-orang disampingmu adalah orang yang hebat. Karena sering Cinta datang ketika kau lengah tak mengharapkan”. Sejenak kuteringat pesan dari sahabatku yang sempat menghiburku saat aku mengalami kegagalan cinta... hehehe
Lalu ku lipat kembali surat itu. Angin berhembus pelan dan langit pun terlihat mendung. Aku pun beranjak dari tempat dudukku, memberanikan diri untuk pamit pulang menuju posko KKN ku dengan sepucuk surat dan bungkusan di tanganku....
Selamat jalan hari...
Selamat jalan waktu...
Karena aku tak tau
kapan dan kemana kaukan membawa lahirku..
andai ceritaku adalah debu
dan andai kenanganmu adalah sebuah perahu
mesti tak henti-hentinya berlalu
terimakasih cinta..
terima kasih kau yang telah membanggakanku
Aku bisa hidup karena CintaMu
Nanang_Grandong
Coretan itu aku bacakan ketika acara perpisahan berlangsung. Dan kulihat isyarat menunjuk ke arah mobil yang melaju pelan di samping Pendopo Balai Desa... dan hilang ditengah kegelapan....
Dan aku tahu itu kamu, Mba.... Selamat jalan....
Terima kasih Cinta.... Maafkan Aku...
In the corner of d' stingky’s room
Sunday, May 03, 2009
Nanang_grande
![](https://scontent-b-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/3338_1107116195303_5951007_n.jpg?oh=fc68a612826567ec2619d4fd74834796&oe=54D5E618)
No comments :
Post a Comment